Oase Waqi’ah: Penangkal Miskin
Surat al Waqi’ah, surat ke 56, terdiri dari 96 ayat. Tarjamah untuk
waqi’ah adalah hari kiamat. Memang dalam gambaran umumnya, surat ini bercerita
tentang kejadian hari kiamat. Namun, secara spesifik, surat ini mengetengahkan
tentang nasib manusia berdasarkan pilihan hidupnya dalam kaitannya dengan jati
diri fitrah kemurniannya. Setiap manusia lahir membawa keimanan. Kelahiran
seorang anak Adam benar-benar merupakan berkah bagi bumi, karena hal itu
berarti seorang wakil Allah telah bertambah.
Manusia adalah wakil Allah, karena ruh kemuliaan yang dititipkan oleh
Nya. Sebuah tajalli yang paling sempurna hingga malaikatpun diwajibkan sujud
padanya. Bukan kepada jisim material, melainkan kepada ruh kemuliaan, yang
mengandung sir (rahasia): Allah Maha Mengetahui apa yang Dia ciptakan.
Maka tatkala diingatkan dengan kalimah “idza..”, manusia diberikan
gambaran tentang waqi’ah (kiamat); sesuatu yang berada diujung kehidupan. Agar
setiap jiwa kembali mengingat asal muasalnya. Bukankah awal dan akhir berada
dalam satu garis? Mengingat yang akhir, membawa kembali kepada yang awal. Ini
hanya soal persepsi. Tepatnya, yang awal adalah yang akhir, sebagaimana kesempurnaan adalah tatkala tidak sempurna.
Makna kiamat, menjurus kepada dua hal, berakhirnya hidup jagad semesta,
dan berakhirnya hidup seseorang. Jagad semesta yang bisa jadi secara material
lebih besar, sebenarnya berada dalam jagad kecil insan.
Hanya orang-orang yang citra materialnya sangat kuat, yang memiliki
anggapan bahwa jagad semesta lebih besar dari jagad manusia. Sehingga, kiamat
alam semesta, hanya akan dirasakan oleh orang-orang ini.
Orang-orang yang beriman tidak akan merasakan kehancuran semesta,
karena kesadaran ilahiahnya begitu besar sehingga meliput seluruh semesta.
Semesta menjadi kecil. Bahkan mereka (orang-orang yang beriman), hanya akan
merasakan kiamat pada jagad kecilnya (lepasnya nyawa) seiring berhembusnya
angin dari arah Yaman (demikian disebutkan dalam hadits).
Citra material berkaitan erat dengan timbunan-timbunan noda berdasarkan
pilihan yang salah tentang arah, atau kesombongan khas iblis yang diakibatkan selalu
menjauhnya dari cahaya.
Maka dengan pengingatan ini, kiranya seseorang tidak perlu menunggu,
saat-saat “laisa liwaq’atiha kaadzibah”. Karena tentu saja, saat itu adalah
saat-saat penuh kemiskinan. Isyarat kesengsaraan abadi yang sungguh ngeri.
Meninggikan dan Merendahkan
Khaafidhoturrofi’ah. Saat itu adalah saat meninggikan
suatu golongan, dan merendahkan golongan yang lainnya. Ketinggian adalah simbol
kemuliaan, suatu tempat dimana kehormatan berada. Berbeda dengan kerendahan,
dimana ia menjadi tanda dari kehinaan dan tidak adanya kehormatan.
Golongan yang ditinggikan tentu saja karena mereka
terbiasa merendahkan sayap-sayap mereka, khudu’ dan khusyu’ berhadap-hadapan
dengan Allah. Mereka taat, mereka mengharap rahmatNya, karena mereka memahami
diri. Sedangkan golongan yang direndahkan, tentulah mereka yang terbiasa
meninggikan diri mereka terhadap larangan dan perintah Allah. Kepala mereka
mendongak, tidak mau bersujud, akibatnya mereka berjalan dengan kepala; mata
hati yang biasa buta, terbentur batu-batu selamanya.
Tiga Golongan
Wa kuntum azwaajan tsalaatsah. Golongan yang
ditinggikan terbagi menjadi dua: assabiquunassabiqun dan ashhabul maimanah.
Sedangkan golongan yang direndahkan adalah mereka yang disebut ashhabul masy
amah.
Golongan elit, yakni mereka yang paling dahulu
menyambut seruan keimanan. Merekalah al muqorrobun, orang-orang yang
didekatkan. Begitu tingginya golongan ini, hingga disebutkan, “tsullatum minal
awwalin, wa qaliilum minal akhirin” golongan elit ini hanya terdiri dari sebagian
besar orang-orang yang terdahulu, dan sebagian kecil orang-orang yang
terkemudian.
Tidak kalah beruntungnya bagi ashhabul maimanah atau
golongan kanan. Ternyata proporsinya adalah “tsullatum minal awwalin, wa
tsullatum minal akhirin” sebagian besar orang-orang terdahulu, juga sebagian
besar orang-orang yang terkemudian.
Dan kesengsaraan, sungguh sengsara bagi ashabul masy
amah atau golongan kiri. Tidak disebutkan proporsinya bisa jadi karena
terlampau banyaknya.
Tiga golongan inilah yang akan manusia masuki.
Seseorang bisa saja menjadi golongan elit, al muqorrobun, atau golongan kanan,
atau golongan kiri.
Sebagaimana pilihan dalam hidup, ada orang-orang
sangat mencintai dunia hingga lupa akhiratnya, merekalah calon golongan kiri.
Ada pula yang mencintai dunia namun juga tidak melupakan akhiratnya, hati
mereka masih terlimput oleh duniawi, namun mereka masih senantiasa mengingat
Allah. Mereka membagi hidupnya untuk mengumpulkan dunia dan juga tidak lupa
mengumpulkan bekal akhirat. Rahmat Allah meliputi mereka sehingga
“Fasalamullaka min ashhabil yamin.” Merekalah golongan kanan.
Dan akhirnya, adalah mereka sangat merindukan
akhiratnya, dunia sudah tidak memiliki tempat dihati mereka, rizqi mereka
dijamin. Merekalah al muqorrobun.
Afaraayta?
Afaraitummaa tumnun ? Maka jelaskanlah, tentang nutfah
yang kamu pancarkan. Inilah sebuah tantangan Allah dalam karunia pengingatan.
Terangkan tentang nurfah (mani) yang kemudian menjadi segumpal darah, menjadi
seonggok bayi, yang bisa melihat dan mendengar, menjadi dirimu. Siapa yang
menjadikan demikian? Kamukah yang menjadikan atau Allah yang menjadikan. Allah
yang telah menciptakan kita ke dunia, dan Allah pula yang yang akan menciptakan
kita di akhirat. Maka, mengapa manusia tidak mengambil pelajaran tentang penciptaan
kedua mereka diakhirat, padahal mereka tahu tentang penciptaan mereka ke dunia.
Berikutnya Allah menantang sebuah penjelasan, Siapa yang membuat tanaman
menjadi tumbuh besar? Tentang air yang kita minum, Siapa yang menurunkan hujan
dari awan? Siapa yang membuat airnya tidak terasa asin? Kamukah atau Allah?
Mengapa manusia tidak bersyukur? Terangkan tentang api yang dapat menyala dari
sebuah kayu, kamukah atau Allah yang membuat kayu itu? Beragam gebrakan dari
Allah untuk mengingatkan kita, menukikkan kesadaran kita tentang hakikat jati
diri kita dengan menghadapkan pada kebesaran ciptaan Nya. Memang siapalah kita?
Qasam Allah
Laa uqsimu bi mawaaqi ‘innujum. Allah bersumpah demi
tempat orbit bintang-bintang, ada yang menterjemahkan demi masa turunnya bagian-bagian
al Qur’an, karena al Qur’an turun berangsur-angsur, dan setiap masa berkaitan
erat dengan perputaran bintang pada tempat beredarnya sebagai petunjuk waktu.
Manusia bersumpah dengan Nama Allah, sedangkan Allah bersumpah dengan nama
ciptaan Nya. Seperti, demi masa, demi waktu dluha, demi malam. Sekali lagi
untuk mengingatkan kita tentang sifat keterbatasan makhluq dan sifat
kesementaraan alam.
Wa innahu laqosamullau ta’lamuunal ‘adhim,
sesungguhnya sumpah ini kalau kamu tahu, adalah sebuah sumpah yang agung.
Betapa tidak? Allah tidak main-main dengan sumpahNya.
Setiap bintang beredar pada garis edarnya, begitu juga manusia, telah memiliki
jalannya masing-masing. Demi tempat berjalannya manusia dari kelahiran sampai
kepada kematian, dengan beragam jalan yang khas yang ditempuh setiap individu,
maka hendaklah seseorang memperhatikan jalannya, jalan hidupnya.
Mawaqi’ setiap manusia begitu gamblang bagi mereka
yang mengenal diri. Posisi dan darajah yang disadari betul oleh, hanya mereka
yang menukik kesadaran ilahiyahnya. Karena sejatinya, manusialah bintang yang
bercahaya itu; jika sempurna iman.
Fie Kitaabin Maknun
Innahu laquraanun kariem. Sesungguhnya, al Qur’an
ialah bacaan yang sangat mulia. Muara sekaligus hulu setiap ilmu pengetahuan
yang benar, menilap habis ilmu pengetahuan yang sesat. Segala sesuatu ada di
dalamnya, dan dialah cahaya pada hari dimana kegelapan merata pekat.
Sebagai bacaan, al Qur’an menyajikan sisi keindahan,
dan pembersih sekaligus obat bagi mereka yang membaca namun tidak memahami
artinya. Dan menyajikan lapis-lapis hikmah dan jawaban atas semua pertanyaan
bagi mereka yang membaca dan memahami bacaannya. Lepas dari itu semua,
keduanya, baik yang memahami maupun yang tidak, berada dalam porsi keunggulannya
masing-masing. Masing-masing akan mendapatkan cahaya, mendapatkan penyembuhan,
dan berjalan dalam bingkai hikmah, dengan disadari (bagi yang memahami
bacaannya), dan dengan tanpa disadari (bagi mereka yang tidak memahami). Yang
jelas keduanya otomatis berada di rel keselamatan menuju titik cahaya.
Dan yang memiliki kebun, ialah mereka yang memiliki
hafalan. Maka bagi pemilik kebun, ada yang bisa menikmatinya dengan cara
memakan buahnya, dan menikmatinya dengan hanya merasa senang tatkala
memandangnya. Kedua-duanya adalah pemilik. Yang pertama, ialah mereka yang
memiliki hafalan dan memahami hafalannya, yang kedua, adalah mereka yang
memiliki hafalan tapi tidak memahami hafalannya. Kedua-duanya adalah pemilik
kebun, keduanya sama-sama bahagia.
Bacaan yang mulia, ada pada kitab yang terpelihara,
yakni dengan menghafalnya. Tidak boleh menyentuhnya, kecuali orang-orang yang
disucikan. Orang yang disucikan ialah mereka yang menginginkan kesucian dan
berusaha sungguh-sungguh kepadanya. Tidak akan berfaedah apa-apa (al Qur’an)
bagi mereka yang hanya ingin bermain-main, dan menggunakannya sebagai bahan
olok-olokan. Maka niat ialah penentu segala sesuatu setelahnya. Bagi mereka
yang meremehkan al Qur’an, berarti mereka telah mengganti rizki yang baik
dengan rizki yang buruk. Mereka mendustakan dan selalulah mereka mengingkari,
padahal bacaan ini turun dari Tuhan pemilik seluruh alam.
Hal itu karena hawa nafsu telah menjadi tuhannya.
Kadzib wa Dlaallin
Tsumma innakum ayyuha dlaalliin al mukadzibun. Inilah
bagian mereka bagi yang suka mendustakan lagi sesat. Medustakan nasehat,
mendustakan kebenaran, mendustakan kejujuran, mendustakan kehormatan, sehingga
mereka meluncur menuju jurang kehinaan. Mereka memakan buah zaqum yang
berduri, mereka memenuhi perutnya dengan zaqum, dengan kedengkian,
kesombongan, syahwat, dan kesenangan dunia. Dan mereka meminum air yang
sangat panas, mereka senang dengan barang dan sesuatu yang haram, mereka
minum seperti unta yang haus, keadaan diri mereka sudah seperti binatang,
karena mereka selalu memperturutkan keserakahan dan sikap berlebih-lebihan.
Itulah hidangan kehinaan untuk mereka. Yang sesat dan mendustakan, berada pada
naungan yang sempit, karena mereka terbiasa hidup bermewah-mewah. Dan mereka
mengerjakan dosa hingga dosa-dosa itu menimbunnya, dan mereka tidak yakin akan
dibangkitkan setelah mati. Celakalah mereka!
Surga Keni’matan
Fie jannaatin na’im. Surga sendiri sudah sangat
menyenangkan, apalagi surga kenikmatan, surganya surga. Diperuntukkan bagi al muqorrobun, golongan
orang-orang yang paling dahulu beriman. Yang senantiasa mengambil kesempatan
pertama dalam kebaikan, yang hatinya bersegera dalam memenuhi panggilan
kebaikan. Beban-beban keduniaan sudah terangkat dan hilang dari sayap-sayap
mereka, sehingga mereka bisa terbang bebas. Rizki mereka tidak terbatas di
tanah. Karena mereka bisa terbang dan memetik buah-buahan di pepohonan yang
tinggi, sayap mereka mengepak ringan mengunjungi siapapun yang membutuhkan
pertolongan. Wala khoufun ‘alaihim walaa hum yahzanun. Tiada ketakutan dalam
diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Merekalah yang senantiasa
menantikan azan dikumandangkan dari dalam masjid, merindukan panggilan sholat,
sementara mereka selalu siap dengan pakaian yang terbaik, berada di dalam rumah
Allah. Kepala-kepala mereka tertunduk karena setiap saat berhadap-hadapan
dengan Allah. Pertobatan mereka sungguh mengagumkan, sedekah mereka tidak
tanggung-tanggung. Mereka menyediakan diri mereka sendiri untuk Allah. Tidak
takut akan celaan para pencela. Maka, sungguh pantas, mereka mendapatkan
“qiilaan salaaman salaama ” Selamat!
Fasabbih Bismi Rabbikal ‘Adhim
Fasabbih bismi rabbikal ‘adhim. Maka bertasbihlah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Agung. Menyebut ialah mengingat
sekaligus melafalkan. Dalam keduanya terdapat proses penyebaran jaring-jaring.
Jejaring yang pertama merengkuh hati dan pikiran sehingga hati menjadi bening,
pikiran menuju kemurniannya. Hati dan pikiran terhubung dengan langit,
mengikuti setiap kehendakNya, meraup segala hikmah yang banyak, mengokohkan
tiang-tiang pancang petunjuk, dan menguatkan tali-tali maqbulnya doa. Sekaligus
adalah meretasnya segala macam korosi dan polusi yang mungkin meliput sebagai
akibat bergaul dengan banyak manusia yang belum tersucikan. Jejaring yang
kedua, menggetar rahmat dan rizqi yang melimput seluruh udara, menangkap segala
keberuntungan, menolak segala bala dan bencana. Memungkinan kasih lebih banyak
terkembang, bagai layar kapal yang melajukan kapal kehidupan menuju surga
impian. Sekaligus menetralkan bibit kebencian yang tersebar melalui mata-mata
penuh amarah dan keserakahan.
Maka dengan menyebut Nama Nya yang Agung, segala hal
bertekuk lutut terhadapmu, dan bahkan dirimu yang seringkali terkekang tali
nafsu, terjebak pekatnya minuman godaan.
Dengan menyebut-nyebut Nya mengisyaratkan cinta,
menggambarkan kerinduan, dan akhirnya mengguratkan ketenangan.
Murni, itulah asal muasal kita. Bertasbih berarti
mensucikan diri, dari segala tali penghambat menuju Allah, yang sementara
banyak orang terkatung-katung pada harapan dan angan kosong kepada selain Nya,
bersandar pada lidi yang rapuh, kita mengosongkan hati kita, memberikan tahta
sepenuhnya untuk Allah ar Rahman.
Maka sebutlah Nama Tuhanmu, sebutlah dengan penuh rasa
kangen, sebut dengan keseluruhan isi surah waqi’ah yang agung, inna hadza
lahuwal haqqul yakin, sesungguhnya inilah sebuah keyakinan yang benar, maka
sebutlah, sebut berkali-kali.
*Khatam Sempurna*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar